Bagaimana Pengenaan Pajak atas Fasilitas Kesehatan yang Diberikan Kantor?

Fasilitas kesehatan kepada pekerja menjadi hal lazim yang disediakan oleh pemberi kerja. Pasca diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 (PMK 66/2023) tentang pengenaan pajak atas imbalan berupa natura/kenikmatan, perlakuan pajak mengenai fasilitas kesehatan menjadi perbincangan di kalangan wajib pajak. Skema pemberian fasilitas kesehatan/pengobatan serta kriteria pengecualian dalam PMK 66/2023 perlu menjadi perhatian bagi wajib pajak ketika menentukan perlakuan pajak atas fasilitas kesehatan yang diberikan kepada pekerja.

Fasilitas Kesehatan yang Dikecualikan dari Pengenaan Pajak

Arie Widodo, pengamat pajak sekaligus partner dari Fast Consult Indonesia menjelaskan secara umum pada PMK 66/2023, fasilitas kesehatan di luar BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, diatur menjadi dua kelompok besar yaitu fasilitas kesehatan dan pengobatan dan natura/kenikmatan yang harus disediakan dalam pelaksanaan pekerjaan.

Fasilitas kesehatan dan pengobatan dikecualikan dari pengenaan pajak dengan kriteria fasilitas diberikan dalam rangka:

  1. kecelakaan kerja;
  2. penyakit akibat kerja;
  3. kedaruratan penyelamatan jiwa; atau
  4. perawatan dan pengobatan lanjutan sebagai akibat dari kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja.

Di sisi lain, natura/kenikmatan yang harus disediakan dalam pelaksanaan pekerjaan, disyaratkan salah satunya adalah persyaratan kesehatan, meliputi natura dan/atau kenikmatan yang diterima dalam rangka penanganan endemi, pandemi, ataupun bencana nasional.

Fasilitas Reimbursement Pengobatan dan Penyediaan Klinik Inhouse

Tak hanya dalam bentuk tunjangan kesehatan, pemberi kerja juga dapat memberikan fasilitas kesehatan dalam bentuk reimbursement, kerja sama langsung dengan penyedia layanan kesehatan, atau penyediaan klinik secara inhouse. Dengan mekanisme reimbursement, pekerja akan meminta penggantian kepada pemberi kerja atas biaya pengobatan yang dikeluarkan. Pada mekanisme penyediaan langsung atau kerja sama dengan pihak lain, pemberi kerja akan langsung membayarkan biaya pengobatan kepada dokter/rumah sakit/klinik atau pihak penyedia lainnya.

Dengan mekanisme di atas, Arie Widodo menjelaskan keduanya merupakan imbalan dalam bentuk kenikmatan sehingga merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21. “Uang yang dibayarkan langsung kepada dokter/klinik/rumah sakit yang telah ditentukan perusahaan, dapat dikategorikan sebagai penggantian dalam bentuk kenikmatan yang merupakan objek PPh 21, kecuali untuk kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, dan kriteria lainnya yang diatur PMK 66/2023,” ungkap Arie.

Penyakit Akibat Kerja

Salah satu kriteria fasilitas pengobatan yang dikecualikan adalah fasilitas yang diberikan terkait penyakit akibat kerja. PMK 66/2023 tidak mendefinisikan penyakit akibat kerja secara terperinci. Namun, menurut Arie Widodo, definisi penyakit akibat kerja dapat dilihat pada Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2019.

“Kalau kita buka Perpres 7 tahun 2019, di lampiran cukup banyak cakupannya. Mulai dari (1) faktor aktivitas pekerjaan, yang ini bisa karena faktor kimia, fisika, dan biologi; (2) berdasarkan sistem target organ; (3) kanker akibat kerja; dan (4) penyakit lain-lain,” jelas Arie.

Pendefinisian penyakit akibat kerja perlu diperhatikan karena hal tersebut menjadi kriteria agar mendapat pengecualian dari pengenaan pajak. Pemberian fasilitas kesehatan di luar kriteria yang ditentukan pada PMK 66/2023 tentu berpotensi menimbulkan kewajiban pemotongan pajak.

Dengan kriteria pengecualian objek pajak atas fasilitas kesehatan, penting bagi wajib pajak mengelompokkan fasilitas kesehatan yang menjadi objek dan bukan objek pajak. Namun pada praktiknya hal tersebut sulit dilakukan. Misalnya, dalam penyediaan klinik secara inhouse, apakah perusahaan perlu membedakan mana pengeluaran yang berkaitan dengan penyakit sehubungan dengan pekerjaan dan yang bukan.

Menurut Arie Widodo, dari sisi wajib pajak tentu ini menimbulkan dilema. Dengan adanya PMK 66/2023, secara ketentuan menyatakan bahwa fasilitas selain yang dikecualikan akan menjadi objek pajak. “Buat pemberi kerja agak dilematis ya. Kalau dulu kita masih mengenai sistem deductible di PPh Badan, taxable di PPh 21, artinya kita memilih mengenakan di PPh 21 saja. Atau sebaliknya nondeductible di PPh Badan, nontaxable di PPh 21, kita kenakan di PPh Badan. Dengan adanya PMK 66, konsep seperti ini menjadi bergeser atau berubah karena fasilitas kesehatan/pengobatan yang diatur di PMK 66 yang dikecualikan hanya terbatas 4 jenis saja,” jelasnya.

Categories: Artikel Pajak

Artikel Terkait